BAB
I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Obat adalah suatu zat yang dimaksud
untuk manusia untuk mengurangi rasa sakit, menghambat, atau mencegah penyakit
yang menyerangnya. Obat yang diberikan pada pasien tersebut harus melalui
banyak proses di dalam tubuh. Dan bahan
obat yang diberikan tersebut, dengan cara apapun juga harus memiliki daya larut
dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya.
Disolusi obat adalah suatu proses
pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat
penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan
zat tersebut melarut ke dalam media
pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan
cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran
terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin
memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga
menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari
senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang
larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau
kompleksasi.
Dalam bidang farmasi, laju
disolusi sangat diperlukan karena menyangkut tentang tentang waktu yang
dibutuhkan untuk penglepasan obat dalam bentuk sediaan dan diabsorbsi dalam
tubuh. Jadi, semakin cepat disolusinya maka makin cepat pula obat atau sediaan memberikan efek kepada
tubuh.
I.2 MAKSUD
DAN TUJUAN
PRAKTIKUM
I.2.1 Maksud praktikum
Adapun
maksud percobaan ini adalah mengetahui dan memahami cara penentuan dari
konstanta laju disolusi distribusi suatu obat parasetamol.
I.2.2 Tujuan praktikum
1.
Menentukan
kecepatan disolusi suatu zat
2.
Menggunakan
alat penentu kecepatan disolusi suatu zat
3.
Menerangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat.
I.3 PRINSIP
PERCOBAAN
Penentuan
konstanta kecepatan disolusi tablet parasetamol berdasarkan kadar zat yang terdisolusi
dalam media air suling pada suhu 370C dengan menggunakan alat
disolusi dimana pada menit ke 5, 10, 15, 20, 25
dan 30 dipipet larutan sampel dan ditentukan kadarnya absorbansinya.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DASAR TEORI
Disolusi
obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke
dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya karena
ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut
ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya karena
ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut
ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus
diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat yaitu bentuk tablet,
kapsul dan salep (Martin,1993)
Agar
suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada
tempat absorpsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung dari
apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan
berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat
disebut disolusi (Ansel, 1989).
Jika
proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat atau jika obat
diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju
obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggunpannya menembeus
pembatas membrane. Tetapi, jika disolusi untuk suatu partikel obat lambat,
misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang
diberikan, proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju
dalam proses absorbsi (Ansel, 1989)
Penentuan kecepatan pelarutan suatu zat dapat dilakukan dengan metode:
(Effendi, 2005)
1.
Metode
suspensi
Bubuk zatpadat ditambahkan pada pelarut
tanpa pengontrolan yang eksak terhadap luas pemukaan partikelnya. Sample diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat
yang terlarut ditentukan dengan cara yang sesuai.
2.
Metode
permukaan konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang
diketahui luasnya, sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat
dihilangkan. Biasanya zat dibuat tablet terlebih dahulu. Kemudian sampel
ditentukan seperti pada metode suspensi.
Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas
permukaan bahan padat, koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya
konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik
dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat
dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan
zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan,
dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media
sekelilingnya (Tjay, 2002).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam
cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara
oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai
partikel-partikel obat larut dalam cairan
pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan
suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut
akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses
melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
Pelepasan
zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat
aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh
kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media
sekelilingnya (Amir, 2007).
Disolusi adalah
suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan transfer massa
karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan
padat. Teori disolusi yang umum adalah: (Amir, 2007).
1. Teori film (model difusi lapisan)
2. Teori
pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori
Solvasi terbatas/Inerfisial
Kecepatan
disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan utuh/
pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan
disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan
sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar
permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang dibakukan (Shargel, 1988).
Tes kecepatan
melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu
tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai
indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang
konsistensi dari “batch” satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain
untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu
sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel,
1988).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap
respon klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat
sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana
berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh.
Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan
padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi
(suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta)
mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat
aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Voigt,
1995).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna,
obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet
tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi
menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi
partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung
secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut
diberikan (Martin, 1993).
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau reaktivitas
partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami dua
langkah berturut-turut: (Gennaro, 1990)
1.
Larutan
dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap atau film
disekitar partikel
2.
Difusi dari
lapisan tersebut pada massa dari zat cair.
Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat. Langka kedua, difusi
lebih lambat dan karena itu adalah
langkah terakhir.
Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut :
Massa larutan dengan konsentrasi = Ct
|
Kristal
|
Lapisan film
(h) dgn konsentrasi = Cs
|
Difusi
layer model (theori film)
Pada
waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul obat pada
permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh
obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini
dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat
keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane biologis
serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan larutan
difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari permukaan partikel obat
dan proses absorbsi tersebut berlanjut (Martin, 1993).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau
jika obat diberikan sebagai suatu
larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti
itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya
menembus menembus pembatas membran.
Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu
partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau
bentuk dosis yang diberikan , proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap
yang menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut
tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin
tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak
diabsorbsi setelah pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa
tinggal dalam lambung atau saluran usus halus (Martin, 1993).
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada kenyataan
bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan dengan
tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur hanya waktu
yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan dan
lewatnya partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi jaminan bahwa
partikel-partilkel tersebut akan melepas bahan obat dalam larutan dengan
kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet
(Martin, 1993).
Pelepasan dari bentuk-bentuk sediaan dan
kemudian absorpsi dalam tubuh dikontrol oleh sifat fisika kimia dari obat dan
bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika kimia dan fisiologis dari
system biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal,
ikatan protein, dan pKa adalah faktor-faktor
fisika kimia yang harus dipahami untuk mendesain system pemberian (Martin, 1993).
Obat-obat yang diberikan dalam bentuk
larutan biasanya diabsorpsi lebih cepat dibandingkan pemberian dalam bentuk
padat, karena tidak membutuhkan prose melarut (Ansel, 1989).
Disolusi dari suatu partikel obat
dikontrol oleh beberapa sifat fisika-kimia, termasuk bentuk kimia, kebiasaan
kristal, ukuran partikel, kelarutan, luas permukaan, dan sifat-sifat
pembasahan. Bila data kelarutan kesetimbangan dirangkaikan, maka eksperimen
disolusi dapat membantu mengidentifikasi daerah masalah bioavailabilitas
potensial (Lachman, 1994).
Obat dapat diubah dalam system saluran
cerna menjadi berbagai bentuk yang menjadikannya kurang atau lebih lambat
tersedia untuk diabsorpsi. Perubahan ini mungkin disebabkan oleh penggabungan
atau berikatannya obat-obat dengan beberapa bahan lain yang mungkin berupa
suatu unsure yang normal dari system saluran cerna atau suatu bahan makanan
atau bahan obat lain. (Ansel, 1989)
Dalam bidang farmasi, penentuan
kecepatan pelarutan suatu zat perlu dilakukan karena kecepatan pelarutan suatu
zat aktif dapat dilakukan pada beberapa tahap pembuatan sediaan obat yaitu :
tahap preformulasi, tahap formulasi, dan tahap produksi (Effendi, 2005).
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi
disolusi adalah luas permukaan, bentuk obat kristal dan amorf, bentuk garam,
atau faktor lainnya yaitu keadaan hidrasi dari suatu obat dapat mempengaruhi
kelarutan dan pola absorpsi. Biasanya bentuk anhidrat dari suatu molekul
organic lebih mudah larut daripada anhidratnya (Ansel, 1989).
Analisis
kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting
dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan wajib USPuntuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun
1960. Berbagai studi telah
berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi
bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan
parameter mutu yang dapat memberikan informasi berharga tentang ketersediaan
hayati dari suatu produk (Voigt, 1995).
Pengembangan
dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan menggambarkan
disolusi dan absorbsi invitro bertujuan : (Ansel,
1989).
a) Untuk
mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model
disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan
suatu model yang berhasil meniru situasi invivo
b) Untuk
menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat disolusi
dan absorbsinya sesuai.
c) Sistem
uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu untuk
produk akhir.
d) Menjamin
kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari
bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan
hayati telah ditetapkan.
e) Metode
yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan manufaktur.
f) Penetapan
kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif
yang baru.
g) Agar
sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang
konsisten tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja,
kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem
Disolusi dapat
terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul bilamana tablet
telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul telah
pecah. Pada tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan
oleh proses disolusi dan difusi. Namun demikian, bagi tablet yang
berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda tergantung
dari apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu kecepatan
(Ansel, 1989).
II.2 URAIAN BAHAN
1.
Air Suling (DitjenPOM, 1979 : 96 )
|
|||
Nama
Resmi
|
:
|
AQUA DESTILLATA
|
|
Nama Lain
|
:
|
Air suling, aquadest
|
|
RM/BM
|
:
|
H2O / 18,02
|
|
Rumus Struktur
|
:
|
H-O-H
|
|
Pemerian
|
:
|
Cairan jernih, tidak
berwarna, tidak berasa, tidak mempunyai bau.
|
|
Penyimapanan
|
:
|
Dalam wadah tertutup rapat
|
|
Kegunaan
|
:
|
Sebagai pelarut
|
|
Nama
Resmi
|
:
|
ACETAMINOPHENUM
|
|
Nama Lain
|
:
|
Parasetamol
|
|
RM/BM
|
:
|
C8H9NO2
/ 151,16
|
|
Pemerian
|
:
|
Hablur atau serbuk hablur
putih: tidak berbau : rasa pahit.
|
|
Penyimapanan
|
:
|
Dalam wadah tertutup rapat
|
|
Kegunaan
|
:
|
Sebagai zat uji
|
II.3 Prosedur
Kerja (Anonim, 2013)
1.
Pengaruh suhu terhadap
kecepatan disolusi zat
·
Isilah bejana dengan 900 ml.
·
Pasang thermostat pada suhu 30oC.
·
Jika suhu air di dalam bejana mencapai 30oC,masukkan
2 g asam salisilat dan hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm.
·
Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana setiap selang
waktu 1, 5, 10, 15,20, 25, dan 30 menit setelah pengadukan. Setiap
selesai pengambilan sampel, segera digantikan dengan 20 ml air.
·
Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap
sampel dengan cara titrasi asam-basa menggunakan NaOH 0,05 N dan indikator
fenoftalein. Lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap waktu
terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan dengan air
suling.
·
Lakukan percobaan yang sama untuk suhu 40oC
dan suhu 50oC.
·
Tabelkan hasil yang diperoleh.
·
Buat kurva antara konsentrasi asam salisilat yang
diperoleh dengan waktu untuk setiap satuan waktu (dalam satu grafik).
2.
Pengaruh kecepatan pengadukan
terhadap kecepatan disolusi zat
·
Isilah bejana dengan 900 ml.
·
Pasang thermostat pada suhu 30oC.
·
Jika suhu air di dalam bejana mencapai 30oC,masukkan
2 g asam salisilat dan hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm.
·
Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana setiap selang
waktu 1, 5, 10, 15,20, 25, dan 30 menit setelah pengadukan. Setiap
selesai pengambilan sampel, segera digantikan dengan 20 ml air.
·
Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel
dengan cara titrasi asam-basa menggunakan NaOH 0,05 N dan indikator
fenoftalein. Lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap waktu
terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan dengan air
suling.
·
Lakukan percobaan yang sama untuk kecepatan 100 dan 500
rpm.
·
Tabelkan hasil yang diperoleh.
·
Buat kurva antara konsentrasi asam salisilat yang
diperoleh dengan waktu untuk setiapmsatuan waktu (dalam satuan grafik).
BAB III
METODE KERJA
III.1 ALAT DAN BAHAN
1. Alat-alat
yang digunakan
Alat yang dipakai pada
praktikum ini adalah alat uji disolusi tipe 2 (dayung), gelas kimia 50 ml, kuvet,
pipet volume 5 ml, pipet volume 10 ml, spektrofotometer dan vial.
2. Bahan-bahan
yang digunakan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah air
steril, etiket, parasetamol 500 mg dan parasetamol p.a.
III.2 CARA KERJA
Ø Prosedur
penggunaan alat uji disolusi
1. SWITCH
ON pemanas lampu dan LED hijau akan menyala dan LCD juga akan menyala.
2. Pesan
akan nampak pada display yaitu: VEEGO TABLET DISSOLUTION.
3. Kemudian
pesan itu akan berubah menjadi: TANK WARMING 29,9o HEATER ON.
4. Pemanas
akan terus on hingga suhu mencapai 38,0o C.
5. Ketika
suhu telah mencapai 38,0o C akan timbul suara agak panjang dan pesan
akan berubah menjadi START TEST.
6. Untuk
mengatur tanggal dan waktu, tekan SET CLOCK , lalu atur waktu dan tanggal.
7. Untuk
mengatur interval waktu, tekan SET INTERVAL kemudian atur waktunya tekan ENTER.
8. Untuk
mengatur suhu tekan SET TEMPT lalu atur suhunya dan tekan ENTER.
9. Untuk
mengatur kecepatan putar, tekan SET RPM atur RPMnya kemudian tekan ENTER.
10. Untuk
mengatur no.batch tekan BATCH NO ketikkan no batch lalu tekan ENTER.
11. Pelaksanaan
test tekan START TEST dan akan muncul pesan: BEAKER WARMING 36,9oC
HEATER ON.
12. Setelah
45 menit suhu digelas kimia juga akan mencapai 37,0oC dan akan
muncul suara beep agak panjang. Pesan berubah menjadi: INSERT SAMPLE ENTER TO
START.
13. Masukkan
tablet atau kapsul ke dalam keranjang kemudian tekan ENTER.
Ø Prosedur penggunaan spektrofotometer
1.
Sambungkan ke
sumber arus listrik
2.
Putar / set
tombol turn ON
3.
Panaskan selama
minimum 15 menit
4.
Putar / set zero
(nol)
5.
Putar / set
panjang gelombang
6.
Masukkan kuvet
berisi blanko
7.
Putar / set
skala penuh sampai jarum menunjukkan angka 0 (absorban) atau angka 100
(transmitan)
8.
Masukkan kuvet
yang berisi sampel yang akan diukur
9.
Lihat / catat
persen transmitan (%T) atau absorban (A)
10. Putar / set turn OFF
11. Lepaskan kabel / cabut dari sumber arus listrik
Ø Pengukuran
absorban paracetamol
1. Disiapkan
alat dan bahan.
2. Disiapkan
alat uji disolusi dan dimasukkan 900 ml air steril pada medium dan diuji dengan
menggunakan metode dayung.
3. Dimasukkan
tablet paracetamol ke dalam medium.
4. Dilakukan
pengadukan dengan kecepatan 50 rpm, dan tiap 5 menit dipipet 5 ml absorban
menggunakan pipet volume 5 ml. Bersamaan dengan diambil 5 ml dimasukkan lagi 5
ml air steril ke dalam medium hingga menit ke 30.
5. Dimasukkan
setiap absorban yang dipipet pada interval waktu 5 menit ke dalam masing-masing
vial dan ditutup dengan aluminium foil.
6. Diukur
nilai absorban air steril dengan menggunakan spektrofotometer.
7. Diukur
nilai absorban paracetamol menggunakan spektrofotometer.
8.
Dicatat hasilnya dan
dibuat dalam tabel
I.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
IV.1 DATA PENGAMATAN
IV.I.1 Hasil dan Perhitungan
a.
Tabel pembuatan Kurva baku
KURVA
BAKU
|
|
PPM
|
ABSORBAN
|
50
|
0.243
|
70
|
0.306
|
90
|
0.384
|
110
|
0.481
|
130
|
0.548
|
200
|
0.813
|
a.
Tabel
disolusi paracetamol 500 mg
Waktu (menit)
|
Kekuatan obat (mg)
|
rata"
|
|||
1
|
2
|
3
|
|||
0
|
500
|
500
|
500
|
500
|
|
5
|
500
|
500
|
500
|
500
|
|
10
|
500
|
500
|
500
|
500
|
|
15
|
500
|
500
|
500
|
500
|
|
20
|
500
|
500
|
500
|
500
|
|
25
|
500
|
500
|
500
|
500
|
|
30
|
500
|
500
|
500
|
500
|
%kadar obat dlm 900 mL
|
Kadar
|
||
Rata"
|
|||
1
|
2
|
3
|
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
55.55555556
|
Absorban
|
Absorban
|
Absorban
|
Absorban
|
A
|
b
|
(y)
|
(y)
|
(y)
|
Rata"
|
||
1
|
2
|
3
|
|||
0.001
|
0
|
0
|
0.00033333
|
0.045154
|
0.003852
|
0.004
|
0.002
|
0.003
|
0.003
|
0.045154
|
0.003852
|
0.007
|
0.004
|
0.002
|
0.00433333
|
0.045154
|
0.003852
|
0.004
|
0.002
|
0.002
|
0.00266667
|
0.045154
|
0.003852
|
0.002
|
0.002
|
0.003
|
0.00233333
|
0.045154
|
0.003852
|
0.004
|
0.003
|
0.005
|
0.004
|
0.045154
|
0.003852
|
0.004
|
0.008
|
0.003
|
0.005
|
0.045154
|
0.003852
|
Obat dalam 5 mL
(ppm)
|
Rata"
|
||
ppm
|
|||
1
|
2
|
3
|
|
-11.4613092
|
-11.7208859
|
-11.7208859
|
-11.6343604
|
-10.6825792
|
-11.2017326
|
-10.9421559
|
-10.9421559
|
-9.90384911
|
-10.6825792
|
-11.2017326
|
-10.5960536
|
-10.6825792
|
-11.2017326
|
-11.2017326
|
-11.0286814
|
-11.2017326
|
-11.2017326
|
-10.9421559
|
-11.115207
|
-10.6825792
|
-10.9421559
|
-10.4230025
|
-10.6825792
|
-10.6825792
|
-9.64427242
|
-10.9421559
|
-10.4230025
|
Obat dalam 5 mL
(mg)
|
Rata"
|
||
1
|
2
|
3
|
|
-0.05730655
|
-0.05860443
|
-0.05860443
|
-0.0581718
|
-0.0534129
|
-0.05600866
|
-0.05471078
|
-0.05471078
|
-0.04951925
|
-0.0534129
|
-0.05600866
|
-0.05298027
|
-0.0534129
|
-0.05600866
|
-0.05600866
|
-0.05514341
|
-0.05600866
|
-0.05600866
|
-0.05471078
|
-0.05557603
|
-0.0534129
|
-0.05471078
|
-0.05211501
|
-0.0534129
|
-0.0534129
|
-0.04822136
|
-0.05471078
|
-0.05211501
|
%obat yang
terdisolusi
|
Rata"
|
||
1
|
2
|
3
|
|
-1.146130925
|
-1.172088594
|
-1.172088594
|
-1.163436038
|
-1.068257918
|
-1.120173256
|
-1.094215587
|
-1.094215587
|
-0.990384911
|
-1.068257918
|
-1.120173256
|
-1.059605362
|
-1.068257918
|
-1.120173256
|
-1.120173256
|
-1.102868143
|
-1.120173256
|
-1.120173256
|
-1.094215587
|
-1.1115207
|
-1.068257918
|
-1.094215587
|
-1.042300249
|
-1.068257918
|
-1.068257918
|
-0.964427242
|
-1.094215587
|
-1.042300249
|
Faktor Koreksi
|
Rata"
|
||
1
|
2
|
3
|
|
0
|
0
|
0
|
0
|
-0.00636739
|
-0.006511603
|
-0.0065116
|
-0.00646353
|
-0.01230216
|
-0.012734788
|
-0.01259058
|
-0.01254251
|
-0.0178043
|
-0.018669554
|
-0.01881376
|
-0.01842921
|
-0.02373906
|
-0.024892739
|
-0.02503695
|
-0.02455625
|
-0.02996225
|
-0.031115924
|
-0.03111592
|
-0.03073137
|
-0.03589702
|
-0.037194899
|
-0.03690648
|
-0.03666613
|
%kadar terkoreksi
|
Rata"
|
||
1
|
2
|
3
|
|
-1.1461309
|
-1.1720886
|
-1.1720886
|
-1.163436
|
-1.0746253
|
-1.1266849
|
-1.1007272
|
-1.1006791
|
-1.0026871
|
-1.0809927
|
-1.1327638
|
-1.0721479
|
-1.0860622
|
-1.1388428
|
-1.138987
|
-1.1212973
|
-1.1439123
|
-1.145066
|
-1.1192525
|
-1.136077
|
-1.0982202
|
-1.1253315
|
-1.0734162
|
-1.0989893
|
-1.1041549
|
-1.0016221
|
-1.1311221
|
-1.0789664
|
%disolusi obat
|
Disolusi
|
||
Rata"
|
|||
1
|
2
|
3
|
|
-2.06303566
|
-2.10975947
|
-2.10975947
|
-2.09418487
|
-1.93432556
|
-2.02803275
|
-1.98130894
|
-1.98122242
|
-1.80483673
|
-1.94578687
|
-2.0389749
|
-1.92986617
|
-1.95491199
|
-2.04991706
|
-2.05017664
|
-2.01833523
|
-2.05904218
|
-2.06111879
|
-2.01465456
|
-2.04493851
|
-1.9767963
|
-2.02559672
|
-1.93214911
|
-1.97818071
|
-1.98747888
|
-1.80291985
|
-2.03601972
|
-1.94213949
|
·
Perhitungan
a.
Pembuatan
Kurva baku
ppm =
untuk, 50 ppm =
70 ppm =
90 ppm =
110 ppm =
130 ppm =
200 ppm =
ü Jadi, untuk penentuan
absorban kurva baku untuk 50 ppm dipipet 0,5 ml, 70 ppm 0,7 ml, 90 ppm 0,9 ml,
110 ppm 1,1 ml, 130 ppm 1,3 ml, dan 200 ppm dipipet 2 ml.
b.
Kecepatan
disolusi paracetamol
1.
%
paracetamol dalam 900 ml
=
=
%
=
55,56 %
2.
Obat
dalam 5 ml (ppm)(1)
Untuk
0 menit :
=
= -11,4613
Untuk 5 menit :
=
= -10,6825
Untuk 10 menit :
=
= -9,9038
Untuk 15 menit :
=
= -10,6825
Untuk 20 menit :
=
= -11,2017
Untuk 25 menit :
=
= -10,6825
Untuk 30 menit :
=
= -10,6825
3.
Obat
dalam 5 ml (ppm)(2)
Untuk
0 menit :
=
= -11,7208
Untuk 5 menit :
=
= -11,2017
Untuk 10 menit :
=
= -10,6825
Untuk 15 menit :
=
= -11,2017
Untuk 20 menit :
=
= -11,2017
Untuk 25 menit :
=
= -10,9421
Untuk 30 menit :
=
= -9,6442
4.
Obat
dalam 5 ml (ppm)(3)
Untuk
0 menit :
=
= -11,7208
Untuk 5 menit :
=
= -10,9421
Untuk 10 menit :
=
= -11,2017
Untuk 15 menit :
=
= -11,2017
Untuk 20 menit :
=
= -10,9421
Untuk 25 menit :
=
= -10,4230
Untuk 30 menit :
=
= -10,9421
5.
Obat
dalam 5 ml (mg) (1)
Untuk
0 menit :
=
x 5 = -0,0573 mg
Untuk 5 menit :
=
x 5 = -0,0534 mg
Untuk 10 menit :
=
x 5 = -0,0495 mg
Untuk 15 menit :
=
x 5 = -0,0534 mg
Untuk 20 menit :
=
x 5 = -0,0560 mg
Untuk 25 menit :
=
x 5 = -0,0534 mg
Untuk 30 menit :
=
x 5 = -0,0534 mg
6.
Obat
dalam 5 ml (mg) (2)
Untuk 0 menit :
=
x 5 = -0,0586 mg
Untuk 5 menit :
=
x 5 = -0,0560 mg
Untuk 10 menit :
=
x 5 = -0,0534 mg
Untuk 15 menit :
=
x 5 = -0,0560 mg
Untuk 20 menit :
=
x 5 = -0,0560 mg
Untuk 25 menit :
=
x 5 = -0,0547 mg
Untuk 30 menit :
=
x 5 = -0,0482 mg
7.
Obat
dalam 5 ml (mg) (3)
Untuk
0 menit :
=
x 5 = -0,0586 mg
Untuk 5 menit :
=
x 5 = -0,0547 mg
Untuk 10 menit :
=
x 5 = -0,0560 mg
Untuk 15 menit :
=
x 5 = -0,0560mg
Untuk 20 menit :
=
x 5 = -0,0547 mg
Untuk 25 menit :
=
x 5 = -0,0521 mg
Untuk 30 menit :
=
x 5 = -0,0547 mg
8.
%
obat yang terdisolusi (1)
Untuk
0 menit :
=
x 100 = -1,1461 mg
Untuk
5 menit :
=
x 100 = -1,0682 mg
Untuk
10 menit :
=
x 100 = -0,9903 mg
Untuk 15 menit :
=
x 100 = -1,0682 mg
Untuk
20 menit :
=
x 100 = -1,1201 mg
Untuk
25 menit :
=
x 100 = -1,0682 mg
Untuk
30 menit :
=
x 100 = -1,0682 mg
9.
%
obat yang terdisolusi (2)
Untuk
0 menit :
=
x 100 = -1,1720 mg
Untuk
5 menit :
=
x 100 = -1,1201 mg
Untuk
10 menit :
=
x 100 = -1,0682 mg
Untuk 15 menit :
=
x 100 = -1,1201 mg
Untuk
20 menit :
=
x 100 = -1,1201 mg
Untuk
25 menit :
=
x 100 = -1,0942 mg
Untuk
30 menit :
=
x 100 = -0,9644 mg
10.
%
obat yang terdisolusi (3)
Untuk
0 menit :
=
x 100 = -1,1720 mg
Untuk
5 menit :
=
x 100 = -1,0942 mg
Untuk
10 menit :
=
x 100 = -1,1201 mg
Untuk 15 menit :
=
x 100 = -1,1201 mg
Untuk
20 menit :
=
x 100 = -1,0942mg
Untuk
25 menit :
=
x 100 = -1,0423 mg
Untuk
30 menit :
=
x 100 = -1,0942 mg
11.
Faktor
koreksi (1)
Untuk 0 menit :
=
Untuk
5 menit :
=
-1,1461 + 0 = -0,0063
Untuk
10 menit :
=
) -1,0682 + (-0,0063) = -0,0123
Untuk 15 menit :
=
-0,9903 + (-0,0123) = -0,0178
Untuk
20 menit :
=
-1,0682 + (-0,0178) = -0,0237
Untuk
25 menit :
=
-1,1201 + (-0,0237) = -0,0299
Untuk
30 menit :
=
-1,0682 + (-0,0299) = -0,0358
12.
Faktor
koreksi (2)
Untuk 0 menit :
=
Untuk
5 menit :
=
-1,720 + 0 = -0,0065
Untuk
10 menit :
=
) -1,1201 + (-0,0065) = -0,0127
Untuk 15 menit :
=
-1,0682 + (-0,0127) = -0,0186
Untuk
20 menit :
=
-1,1201 + (-0,0186) = -0,0248
Untuk
25 menit :
=
-1,1201 + (-0,0248) = -0,0311
Untuk
30 menit :
=
-1,0942 + (-0,0311) = -0,0371
13.
Faktor
koreksi (3)
Untuk 0 menit :
=
Untuk
5 menit :
=
-1,720 + 0 = -0,0065
Untuk
10 menit :
=
) -1,0942 + (-0,0065) = -0,0125
Untuk 15 menit :
=
-1,1201 + (-0,0125) = -0,0188
Untuk
20 menit :
=
-1,1201 + (-0,0188) = -0,0250
Untuk
25 menit :
=
-1,0942 + (-0,0250) = -0,0311
Untuk
30 menit :
=
-1,0423 + (-0,0311) = -0,0369
14.
%
Kadar terkoreksi (1)
Untuk 0 menit :
=
=
-1,1461 %
Untuk
5 menit :
=
)
= -1,0746 %
Untuk 10 menit :
=
=
-1,0026 %
Untuk 15 menit :
=
=
-1,0860 %
Untuk 20 menit :
=
=
-1,1439 %
Untuk 25 menit :
=
=
-1,0982 %
Untuk 30 menit :
=
=
-1,1041 %
15.
%
Kadar terkoreksi (2)
Untuk 0 menit :
=
=
-1,1720 %
Untuk 5 menit :
=
)
= -1,1266 %
Untuk 10 menit :
=
=
-1,0809 %
Untuk 15 menit :
=
=
-1,1388 %
Untuk 20 menit :
=
=
-1,1450 %
Untuk 25 menit :
=
=
-1,1253 %
Untuk 30 menit :
=
=
-1,0016 %
16.
%
Kadar terkoreksi (3)
Untuk 0 menit :
=
=
-1,1720 %
Untuk 5 menit :
=
)
= -1,1266 %
Untuk 10 menit :
=
=
-1,0809 %
Untuk 15 menit :
=
=
-1,1388 %
Untuk 20 menit :
=
=
-1,1450 %
Untuk 25 menit :
=
=
-1,1253 %
Untuk 30 menit :
=
=
-1,0016 %
17.
%
disolusi obat (1)
Untuk 0 menit :
=
x
100 = -2,0630 %
Untuk 5 menit :
=
x
100 = -1,9343 %
Untuk 10 menit :
=
x
100 = -1,8048 %
Untuk 15 menit :
=
x
100 = -1,9549 %
Untuk 20 menit :
=
x
100 = -2,0590 %
Untuk 25 menit :
=
x
100 = -1,9767 %
Untuk 30 menit :
=
x
100 = -1,9874 %
18.
%
disolusi obat (2)
Untuk 0 menit :
=
x
100 = -2,1097 %
Untuk 5 menit :
=
x
100 = -2,0280 %
Untuk 10 menit :
=
x
100 = -1,9457 %
Untuk 15 menit :
=
x
100 = -2,0499 %
Untuk 20 menit :
=
x
100 = -2,0611 %
Untuk 25 menit :
=
x
100 = -2,0255 %
Untuk 30 menit :
=
x
100 = -1,8029 %
19.
%
disolusi obat (3)
Untuk 0 menit :
=
x
100 = -2,1097 %
Untuk 5 menit :
=
x
100 = -1,9813 %
Untuk 10 menit :
=
x
100 = -2,0389 %
Untuk 15 menit :
=
x
100 = -2,0501 %
Untuk 20 menit :
=
x
100 = -2,0146 %
Untuk 25 menit :
=
x
100 = -1,9321 %
Untuk 30 menit :
=
x
100 = -2,0360 %
c.
Koefisien
laju Disolusi paracetamol
K = b x 2,303
= 0,003852 x 2,303
=
8.8 x 10-3 mg/menit
BAB V
PEMBAHASAN
Disolusi adalah
suatu proses melarutnya senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam medium
pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan
suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke
dalam tubuh.
Adapun aplikasi dalam bidang farmasi
yaitu penentuan bentuk-bentuk sediaan yang akan dibuat sesuai dengan sifat zat
aktif sehingga dicapai kecepatan pelarutan dalam cairan tubu sehingga dicapai
kecepatan pelarutan dalam cairan tubuh sehingga cepat diabsorbsi dan cepat
memberikan efek farmakologinya.
Sampel yang digunakan pada
praktikum ini yaitu parasetamol 500 mg, air steril sebagai medium disolusi dan
parasetamol p.a sebagai pembanding.
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk
menentukan kecepatan disolusi dari paracetamol 500 mg dan mengetahui cara
penggunaan alat uji disolusi.
Pada percobaan ini ada
2 alat yang digunakan yaitu alat uji disolusi (tablet dissolution test apparatus) tipe 2 (dayung) dan
spektrofotometer.
Prinsip kerja dari
tablet dissolution test apparatus yaitu pada saat tablet dimasukkan ke dalam
medium disolusi maka tablet akan mengalami proses disolusi sesuai dengan lama
waktu disolusi tablet tersebut.
Prinsip kerja dari spektrofotometer
yaitu sinar/cahaya yang datang melalui sampel sebagian akan diserap terhitung
sebagai absorban (A) dan sebagian lagi dipantulkan terhitung sebagai transmitan
(% T).
Pada percobaan ini,
akan dilihat disolusi parasetamol dengan menggunakan medium air steril. Dalam
percobaan ini digunakan air steril sebagai media disolusinya karena air merupakan komponen terbesar yang
terdapat di dalam tubuh manusia. Adapun volume dari labu disolusi yang digunakan adalah 900 ml. Kemudian suhu
yang digunakan yaitu dipertahankan agar tetap 37°C, agar sesuai dengan suhu
tubuh manusia. Hal ini sebagai pembanding jika obat tersebut berada dalam tubuh
manusia. Selain itu alat disolusi juga diatur kecepatan putarannya sebesar 100
rpm karena ini diumpamakan sebagai kecepatan gerak peristaltik lambung.
Pemipetan larutan
dilakukan pada waktu-waktu yang berbeda yaitu menit ke-5, 10, 15, 20, 25, dan
30. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pada menit ke berapa parasetamol
tersebut dapat terdisolusi dengan baik pada medium pelarutnya.
Pada
percobaan ini, digunakan air suling sebagai media disolusi karena air merupakan
komponen paling besar yang berada di dalam tubuh manusia, jadi obat seakan-akan
berdisolusi di dalam tubuh, selain itu karena mengingat kelarutan dari obat
yang digunakan. Adapun volume dari labu disolusi yang digunakan adalah 900 ml. hal ini
dianalogikan terhadap suatu gelembung udara,maka gelembung udara tersebut akan
masuk ke pori-pori dan bekerja sebagai barier pada interfase sehingga
mengganggu disolusi obat.
Waktu
yang digunakan yaitu 30 menit karena waktu yang digunakan paracetamol untuk
dapat terdisolusi adalah 30 menit.
Untuk
melakukan uji disolusi obat, terlebih dahulu alat uji disolusi diaktifkan,
kemudian diatur waktu, suhu, interval waktu, dan rpmnya, kemudian setelah 45
menit dan terdengar suara beep yang panjang dari alat uji disolusi maka
paracetamol dimasukkan kedalam alat uji disolusi. Setelah obat dimasukkan ke
dalam alat uji disolusi, dilakukan pemipetean dalam tiap interval waktu 0, 5,
10, 15, 20, 25, dan 30 menit, tetapi pada saat dilakukan pemipetan dari alat
uji disolusi, maka larutan yang diambil dalam alat uji disolusi harus diganti
dengan air steril sesuai dengan volume yang diambil. Dilakukan triplo agar
hasil yang diperoleh dapat dibandingkan secara keseluruhan.
Setelah dipipet 5
ml, sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dimasukkan lagi air 5 ml sebagai
penggantinya. Hal ini diibaratkan dalam tubuh manusia, yang mana ketika ada
cairan yang keluar maka akan segera tergantikan.
Setelah dipipet tiap-tiap
interval waktu, sampel dimasukkan ke dalam vial untuk menampung kemudian
dimasukkan didalam kuvet lalu ditentukan nilai absorban sampel dan juga air
steril dengan menggunakan spektrofotometer.
Pemipetan dilakukan pada waktu yang
berbeda-beda untuk melihat kapan paracetamol berdisolusi dengan optimal pada medium pelarut.
Pada saat suatu sediaan obat masuk
ke dalam tubuh, selanjutnya terjadi proses absorbsi ke dalam sirkulasi darah
dan akan didistribusikan ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Apabila zat
aktif pada sediaan obat tersebut memiliki pelarut yang cepat, berarti efek yang
ditimbulkan juga akan semakin cepat, begitu juga sebaliknya.
Pada
percobaan ini ingin ditentukan konstanta kecepatan disolusi suatu zat. Zat yang
akan diukur kecepatan atau laju disolusinya adalah tablet parasetamol yang
melarut ke dalam media disolusi, dimana medium disolusi yang digunakan adalah
air suling.
Hasil yang diperoleh
pada percobaan untuk data kurva baku pada 50 ppm absorbannya 0,243, 70 ppm absorbannya 0,306,
90 ppm absorbannya 0,384, 110
Rpm absorbannya 0,481, 130 ppm
absorbannya 0,548, dan untuk 200 ppm
absorbannya 0.813. Konstanta laju disolusi paracetamol yaitu 8.8
x 10-3 mg/menitmg/menit. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa semakin banyak waktu yang dibutuhkan oleh suatu obat
untuk berdisolusi maka semakin tinggi pula konsentrasi (Kadar) zat tersebut
dalam cairan (media pelarut).
Dari percobaan yang
telah dilakukan diperoleh hasil laju disolusi obat paracetamol yaitu sebesar 8.8
x 10-3mg/menit dan persentase disolusi rata-rata obat parasetamol sebesar 55,56 %. Hal
ini tidak sesuai dengan literatur “Ditjen POM” yang menyatakan bahwa hasil
disolusi obat parasetamol adalah 80%.
Adapun ketidaksesuaian
hasil praktikum ini dengan literatur,
hal ini disebabkan beberapa faktor kesalahan antara lain yaitu kesalahan dalam
melakukan uji disolusi, suhu yang tidak tepat, dan pengamatan yang kurang
teliti
BAB VI
PENUTUP
VI.1 KESIMPULAN
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kecepatan disolusi
Suhu,
medium, kecepatan perputaran,
kecepatan letak vertical poros, vibrasi, gangguan
pola aliran, posisi pengambilan cuplikan, formulasi bentuk sediaan, dan
kalibrasi alat disolusi.
2.
Hasil laju
disolus parasetamol sebesar 8,8 x 10-3
3.
Disolusi
rata-rata obat parasetamol sebesar 55,56 %
VI.2 SARAN
Sebaiknya dalam praktikum, praktikan harus lebih aktif
dan saling bekerja sama dalam kelompok. Praktikan juga harus lebih teliti dalam
dalam melakukan pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Amir,
Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Gaya
Baru. Jakarta.
Ansel, Howard C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi
Edisi IV, UI Press, Jakarta
Ditjen POM.1979. Farmakope Indonesiaedisi III. Jakarta; Depkes RI.
Effendi, M. Idris, 2005, Penuntun Praktikum Farmasi
Fisika, Universitas Hasanuddin Press, Makassar
Gennaro, A. R., et all., 1990, Remingto’s
Pharmaceutical Sciensces, Edisi 18th, Marck Publishing Company,
Easton, Pensylvania
Lachman, Leon, dkk, 1994, Teori dan Praktek Farmasi
Industri I Edisi III, UI Press, Jakarta.
Martin, Alfred, dkk.
1993 . Farmasi Fisika: Dasar-dasar
farmasi fisika dalam ilmu farmasetika, diterjemahkan oleh Yoshita , edisi
III , jilid II. Jakarta; penerbit UI.
Mirawati. 2013.Penuntun Praktikum Farmasi
Fisika.Makassar;Jurusan Farmasi UMI.
Shargel, Leon,
dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan
Farmakokinetika Terapan. Edisi II. Penerjemah
Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti Sjamsiah, Apt. Airlangga University
Press. Surabaya.
Voigt, 1995. Buku
Pelajaran Teknologi Farmasi. Universitas Gadjah Mada
Press. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar